
Komunitas jamaah tabligh di Gorontalo benar-benar jadi sorotan.
Kamis kemarin, ba’da magrib, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie sudah mengumumkan: Gorontalo satu orang positif Covid-19.
Katanya, pasien itu terjangkit Covid-19 setelah ikut kegiatan ijtima jamaah tabligh di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sejak itu di media sosial, ramai sekali “mengutuk” komunitas ini. Belum lagi beredar video yang bikin tambah banyak netizen gemez: Sampai-sampai disebut “Takabur! tidak pam ba dengar“.
Macam-macam.
Komunitas jamaah tabligh yang bermarkas di Masjid Ar Rahmah, Kelurahan Siendeng, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo pun buru-buru klarifikasi: jamaah tabligh yang ikut kegiatan di Gowa bukan merupakan jamaah tabligh Gorontalo yang berpusat di masjid Ar Rahmah itu.
Surat itu sudah beredar di media sosial. Tapi rupanya orang tidak mau tahu.
Memang, jamaah tabligh kini terbagi 2 faksi. Yang di Siendeng itu ikut faksi Nizamuddin yang berpusat di India. Sedangkan yang satunya disebut SA. Saya tidak tahu persis apa kepanjangannya. Ada yang bilang Syuro Alami. Faksi ini, pusatnya di Pakistan.
Sudahlah.
Ini bukan lagi soal faksi si A atau si B. Ini sudah terlanjur tergeneralisir.
Tapi kita harus bijak menyikapinya. Karena orang punya pemikiran beda-beda. Pendapat selalu tak sama.
Apalagi ini yang sudah menyangkut agama. Itu tidak bisa dilawan. Dan sebaiknya jangan dilawan.
Misalnya, yang meyakini bahwa mati itu takdir Tuhan. Itu tidak salah. Anda mau membantahNya?
Waktu awal-awal MUI mengeluarkan imbauan untuk tidak sholat Jumat di masjid, banyak yang meradang. Yang sholat-nya bolong-bolong pun ikut sedih. Bagaimana tidak?
Seperti curhat seorang kawan dekat yang mau saya kutip: “Saya ini memang sholat (5 waktu) bolong-bolong. Hanya sholat Jumat saja tidak pernah ketinggalan. Kini sholat Jumat (di masjid) tidak ada lagi,”.
Des, seperti yang sudah saya sebut tadi yang mana ini sudah menyangkut agama.
Di beberapa negara, seperti Korea Selatan, gereja sempat menjadi sorotan media. Di Amerika, Kanada, Inggris, awal-awalnya juga demikian.
Pemikirannya sama: mati itu Tuhan yang menentukan. Jadi sorotan juga. Tak jauh-jauh beda dengan menimpa jamaah tabligh di Gorontalo tadi.
Mungkin kekesalan warga maya itu bisa dimaklumi. Gorontalo yang jadi provinsi paling terakhir positif corona di Indonesia–hanya bisa dibanggakan sesaat.
Maklum, hanya beda tipis, sekitar 1-2 jam dari NTT yang sudah lama bertahan bersama Gorontalo. Usai diumumkan gubernur: istilah “pecah telor” benar-benar menggema di media sosial. Ramai unggahan “so pas torang” pun basi.
Tak bisa lagi jadi lucu-lucuan.
Tapi yang perlu disimak, imbauan Gubernur Gorontalo sudah sangat bijak. Jangan mem-bully. Jangan menstigma suatu komunitas tertentu.
Dan yang merasa ikut kegiatan ijtima di Gowa diminta bekerjasama: datang periksakan diri dengan kesadaran masing-masing.
Setidaknya, maksud pak Rusli: tolong hargai usaha pemerintah supaya virus tidak menyebar ke mana-mana. Darat, laut, udara sudah dijaga ketat, tetap kebobolan juga.
Dan kalau toh mati itu takdir Tuhan, setidak-tidaknya kita bisa memilih mati enak. Mati, yang tidak bikin orang-orang di sekitar kita mati tertular corona.
Wallahu’alam.(Alex)